BID’AH-BID’AH

DI BULAN RAMADHAN

Sebagai catatan pribadi buat saya :
Moh. Eko Subekti bin Sujitno bin Darmo Soemarto bin Khasan Mubari



Bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat mulia, hanya saja sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, ia telah tercampuri oleh beberapa ritual bid’ah yang tidak ada dasarnya dalam agama. Berikut ini kami sampaikan beberapa bid’ah yang biasa dilakukan oleh kebanyakan manusia. Semoga Allah menyelamatkan darinya. Di antaranya adalah hal-hal sebagai berikut[1]:


1. Melafadzkan Niat Puasa Di Malam Hari

Tidak diragukan lagi bahwa niat merupatkan syarat sahnya ibadah dengan kesepakatan ulama.[2] Hanya saja perlu diketahui bahwa niat tempatnya adalah di dalam hati, barangsiapa yang terlintas di dalam hatinya bahwa dia besk akan puasa maka sudah berarti dia telah berniat. Adapun melafadzkan niat puasa di malam hari baik dengan berjamaah maupun sendiri-sendiri dengan mengucapkan:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةَ ِللهِ تَعَالَى

Aku berniat puasa besok untuk melaksanakan fardhu puasa Romadhan pada tahun ini karena Alloh Ta’ala.

Do’a ini sangat masyhur bahkan diucapkan secara berjama’ah di masjid setelah sholat tarawih padahal tidak ada asalnya sama sekali dalam kitab-kitab hadits, bahkan ini adalah kebid’ahan dalam agama sekalipun manusia menganggapnya kebaikan[3].

Jadi, melafadzkan niat seperti itu tidak ada contohnya dari Nabi, para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan sebagainya, bahkan kata Imam Ibnu Abil Izzi al-Hanafi: “Tak seorangpun dari imam empat, baik Syafi’i maupun lainnya yang mensyaratkan melafadzkan niat, karena niat itu di dalam hati dengan kesepakatan mereka”.[4] Maka jelaslahh bahwa melafadzkan niat termasuk bid’ah dalam agama.[5]
Abu Abdillah Muhammad bin Qosim al-Maliki berkata: “Niat termasuk pekerjaan hati, maka mengeraskannya adalah bid’ah”.[6]


2. Menetapkan Waktu Imsak

Menetapkan waktu imsak bagi orang yang makan sahur 5 atau 7 menit sebelum adzan Subuh dan mengumumkannnya melalui pengeras suara ataupun radio adalah bid’ah dan menyelisihi sunnah mengakhirkan sahur.
Syari’at memberikan batasan seseorang untuk makan sahur sampai adzan kedua atau adzan Subuh dan syari’at menganjurkan untuk mengakhurkan sahur, sedangkan imsak melarang manusia dari apa yang dibolehkan oleh syari’at dan memalingkan manusia dari menghidupkan sunnah mengakhirkan sahur.
“Maka lihatlah wahai saudaraku keadaan kaum muslimin pada zaman sekarang, mereka membalik sunnah dan menyelisihi petunjuk Nabi, dimana mereka dianjurkan untuk bersegera berbuka tetapi malah mengakhirkannya dan dianjurkan untuk mengakhirkan sahur tetapi malah menyegerakannya. Oleh karenanya,  mereka tertimpa petaka dan kefakiran dan kerendahan di hadapan musuh-musuh mereka”.[7]
Kami memahami bahwa maksud para pencetus Imsak adalah sebagai bentuk kehati-hatian agar jangan sampai masuk waktu Subuh, sedangkan masih masih makan atau minum, tetapi ini adalah ibadah sehingga harus berdasarkan dalil yang shohih. Jika kita hidup di zaman Nabi, apakah kita berani membuat-buat waktu imsak, melarang Rosululloh makan sahur jauh-jauh sebelum waktu Subuh tiba?!![8]
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Termasuk bid’ah yang mungkar yang telah tersebar pada zaman sekarang adalah mengumandangkan adzan kedua sebelum shubuh sekitar 15 menit pada bulan Romadhan, dan mematikan lampu-lampu sebagai tanda peringatan haramnya makan dan minum bagi orang yang hendak puasa. Mereka mengklaim bahwa hal itu sebagai bentuk kehati-hatian dalam ibadah. Mereka mengakhirkan berbuka dan menyegerakan sahur, mereka menyelisihi sunnah. Oleh karenanya sedikit sekali kebaikan yang mereka terima, bahkan mereka malah tertimpa petaka yang banyak, Allohul Musta’an.[9]


3. Membangunkan Dengan Kentongan atau Pengeras Suara
           
 Biasanya di sebagian kampung dan desa ada segerombolan anak muda atau juga orang tua menabuh kentongan sekitar 2-3 jam sebelum shubuh untuk membangunkan mereka agar segera sahur, seraya mengatakan: “Sahur!!  Sahur!! Sahur!! Bahkan ada sebagian yang menggunakan mikrofun masjid untuk melakukan panggilan ini.
Tidak ragu lagi bahwa ini adalah suatu kebiasaan yang dianggap ibadah, padahal tidak ada ajarannya dalam agama. Seandainya itu baik tentu akan diajarkan oleh agama. Apalagi, kebiasaan dapat mengganggu kenyamanan tidur orang di malam hari, padahal Allah berfirman:

إِذْ جَاءُوكُم مِّن فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنكُمْ وَإِذْ زَاغَتِ الْأَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِاللَّـهِ الظُّنُونَا﴿١٠

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 58)[10]
Syaikh Abdul Qodir al-Jazairi berkata: “Apa yang dilakukan oleh sebagian orang jahil pada zaman sekarang di negeri kita berupa membangunkan otang puasa dengan kentongan merupakan kebid’ahan dan kemunkaran yang seharusnya dilarang dan diingatkan oleh orang-orang yang berilmu”.[11]


4. Memperingati nuzulul qur’an

Biasanya pada pada tanggal 17 Romadhon, kebanyakan kaum muslimin mengadakan peringatan yang disebut dengan perayaan Nuzulul Qur’an sebagai bentuk pengagungan kepada kitab suci Al-Qur’an. Namun ritual ini perlu disorot dari dua segi:
Pertama: Dari segi sejarah, adakah bukti otentik baik berupa dalil ataupun sejarah bahwa Al-Qur’an diturunkan pada tanggal tersebut?! Inilah pertanyaan yang kami sodorkan kepada saudara-sauadaraku semua.
Kedua: Angggaplah memang terbukti bahwa Al-Qur’an  diturunkan pada tanggal tersebut, namun menjadikannya sebagai perayaan membutuhkan dalil dan contoh dari Nabi. Bukankah, orang yang paling gembira dengan turunnya al-Qur’an adalah Rosululloh  dan para sahabatnya?!  Namun sekalipun demikian, tidak pernah dinukil dari mereka tentang adanya peringatan semacam ini, maka hal itu menunjukkan bahwa peringatan tersebut bukan termasuk ajaran Islam tetapi kebid’ahan dalam agama.

Ketahuilah wahai saudaraku bahwa perayaan tahunan dalam Islam hanya ada dua macam; idhul fithri[12] dan idhul adha, berdasarkan hadits:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا, فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ :كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى


Dari Anas bin Malik berkata: Tatkala Nabi datang ke kota Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari untuk bersenag gembira sebagaimana di waktu jahiliyyah, lalu beliau bersabda: “Saya datang kepada kalian dan kalian memiliki dua hari raya untuk bersenang gembira sebagaimana di waktu jahiliyyah. Dan sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik, idhul adha dan idhul fithri”. [13]

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah tidak ingin kalau umatnya membuat-buat perayaan baru yang tidak disyari’atkan Islam. Alangkah bagusnya ucapan al-Hafizh Ibnu Rojab: “Sesungguhnya perayaan tidaklah diadakan berdasarkan logika dan akal sebagaimana dilakukan oleh Ahli kitab sebelum kita, tetapi berdasakan syari’at dan dalil”.[14]
Beliau juga berkata: “Tidak disyari’atkan bagi kaum muslimin untuk membuat perayaan kecuali perayaan yang diizinkan Syari’at yaitu idhul fithri, idhul adha, hari-hari tasyriq, ini perayaan tahunan, dan hari jum’at, ini perayaan mingguan. Selain itu, menjadikannya sebagai perayaan adalah bid’ah dan tidak ada asalnya dalam syari’at”.[15]


5. Komando Di antara Roka’at Sholat Tarawih

Berdzikir dan mendo’akan para Khulafaur Rosyidin di antara dua salam sholat Tarawih dengan cara berjama’ah di pimpin oleh satu orang dengan mengucapkan:

اَلصَّلاَةُ سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَحِمَكُمُ اللهُ  . . .

Tidak pernah dinukil dari al-Qur’an dan dalam Sunnah tentang dzikir ini. Kalau tidak pernah kenapa kita tidak mencukupkan diri dengan apa yang dibawa Nabi dan para sahabatnya? Oleh karenanya maka hendaknya bagi setiap muslim untuk menjauhi hal ini, karena hal ini termasuk kebid’ahan dalam agama yang hanya dianggap baik oleh logika.
Jangan ada yang mengatakan bahwa hal itu boleh-boleh saja karena berisi sholawat dan doa kepada sahabat yang merupakan amalan baik dengan kesepakatan ulama, itu memang benar tetapi masalahnya manusia menganggapnya sebagai syi’ar sholat tarawih padahal itu merupakan tipu daya Iblis kepada mereka.
Bagaimana mereka menganggap baik sesuatu yang tidak ada ajarannya dalam agama, padahal hal itu diingkari secara keras oleh Imam Syafi’I tatkala berkata:

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

Barangsiapa yang istihsan maka ia telah membuat syari’at.[16]

Asy-Syaukani berkata: “Maksud istihsan adalah ia menetapkan suatu syariat yang tidak syar’i dari pribadinya sendiri”.[17]
Jadi, ritual ini termasuk kebid’ahan yang harus diwaspadai dan ditinggalkan.[18]


6. Tadarrus al-Qur’an berjama’ah dengan pengeras suara

Pada dasarnya kita dianjurkan untuk banyak membaca Al-Qur’an di bulan ini. Namun ritual Tadarus al-Qur’an berjama’ah yang biasa dilakukan oleh keum muslimin di masjid dengan mengeraskan suara adalah suatu hal yang perlu diluruskan.
Membaca al-Qur’an termasuk ibadah mulia yang diharapkan dengannya dapat dipahami dan diamalkan kandungannya serta dilakukan sesuai tuntunan Nabi n\ yaitu dengan suara pelan dan merendahkan diri karena itu lebih menjauhkan seseorang dari riya’ dan mendekatkan seseorang kepada Robbnya. Alloh Ta’ala berfirman:

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ ﴿٥٥

Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-A’rof [7]: 55)

Rosululloh n\ pernah menegur sebagian sahabat yang berdo’a atau berdzikir dengan suara keras dengan perkataan beliau:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا ، إِنَّهُ مَعَكُمْ ، إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ ، تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ

Wahai manusia, kasihanilah dirimu! Sesungguhnya kalian tidaklah berdo’a kepada Dzat yang tuli dan tidak ada, sesungguhnya Ia bersama kalian dan sesungguhnya Alloh Maha Mendengar dan Maha Dekat, Maha Suci NamaNya dan Maha Tinggi KemuliaanNya. (HR. al-Bukhori 2292, Muslim 2704)

Terlebih lagi apabila ibadah mulia ini dilakukan dengan cara campur-baurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom dan tidak halal untuk saling melihat. Apakah ini ibadah atau permainan?! Wallohul Muwaffiq.[19]



7. Mengkhususkan Ziarah Kubur


Pada bulan Ramadhan dan hari raya sering kita dapati manusia ramai ke kuburan dengan keyakinan bahwa waktu itu adalah waktu yang sangat istimewa dalam ziarah kubur. Namun, adakah dalam Islam ketentuan waktu khusus untuk ziarah kubur?!
Jawabannya: Tidak ada waktu khusus untuk ziaroh kubur. Para ahli fiqih dari kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah telah menegaskan anjuran memperbanyak ziarah kubur kapanpun waktunya.[20] Para ulama Malikiyyah mengatakan: “Ziarah kubur tidak ada batasan dan waktu khusus”.[21]
Hal ini dikuatkan dengan keumuman dalil-dalil perintah ziarah kubur, tidak ada keterangan bahwa ziarah kubur terbatasi dengan waktu tertentu, karena diantara hikmah ziarah kubur adalah untuk mengambil pelajaran, ingat akherat, melembutkan hati, sedangkan hal itu dianjurkan setiap waktu tanpa terbatasi oleh waktu khusus.[22]
Jadi, kita tidak boleh mengkhususkan waktu-waktu khusus untuk ziarah, kapanpun ziarah adalah boleh.
Demikianlah beberapa bid’ah yang dapat kami sampaikan. Kita memohon kepada Allah agar menyelamatkan kita semua darinya dan memberikan hidayah kepada kaum muslimin yang masih melakukannya. Amiin.



8. Bid’ah Sholat Lailatul Qodr


Sebagian manusia ada yang mengerjakan shalat Lailatul Qodr dengan tata cara; shalat dua raka’at dengan berjama’ah setelah shalat taraweh. Kemudian di akhir malam, mereka shalat lagi seratus raka’at. Shalat ini mereka kerjakan pada malam yang menurut persangkaan kuat mereka adalah lailatul qodr. Oleh karena itu shalat ini dinamakan shalat lailatul qodr. Tidak ragu lagi bahwa ini adalah bid’ah yang nyata.[23]




[1] Pembahasan ini banyak mengambil manfaat dari buku “30 Tema Pilihan Kultum Ramadhan” hlm. 166-173 oleh al-Akh Abu Bakar Muhammad, cet Majelis Ilmu, dengan beberapa tambahan referensi penting lainnya.
[2] Syarh Hadits Innamal A’mal bin Niyyat, hlm. 119 oleh Ibnu Taimiyyah.
[3] Lihat Shifat Shoum Nabi hlm. 30 oleh Syaikh Salim al-Hilali dan Syaikh Ali Hasan.
[4] Al-Ittiba’ hlm. 62, tahqiq Muhammad Atho’ullah Hanif dan Dr. Ashim al-Qoryuthi,
[5] Lihat secara luas Al-Amru bil Ittiba’ hlm. As-Suyuthi hlm. 295, Majmu’ah Rosail Kubro 1/254-257, Zadul Ma’ad 1/51, Al-Qoulul Mubin fii Akhtoil Mushollin hlm. 91-96 oleh Syaikh Masyhur Hasan, tulisan “Hukum Melafadzkan Niat” oleh al-Usradz Abu Ibrahim dalam Majalah Al Furqon edisi 9, hlm. 37-42, tahun ketujuh.
[6] Majmuah Rasail Kubra 1/254, Ibnu Taimiyyah. Lihat al-Qoul al-Mubin Fi Akhthoil Mushallin hal.91, Masyhur Hasan Salman
[7] Shofwatul Bayan fii Ahkamil Adzan wal Iqomah hlm. 116 oleh Abdul Qodir al-Jazairi.
[8] Lihat Fathul Bari 4/109-110 oleh Ibnu Hajar, Islahul Masajid hlm. 118-119 oleh al-Qosimi, Tamamul Minnah hlm. 417-418 oleh al-Albani, Fatawa Ibnu Utsaimin hlm. 670, Taisir Alam  1/ 496 oleh Abdullah al-Bassam, Mukholafat Romadhan hlm. 22-23 oleh Abdul Aziz As-Sadhan.
[9] Fathul Bari 4/199
[10] Lihat Kullu Bid’atin Dholalah oleh Muhammad al-Muntashir hlm. 194.
[11] Shofwatul Bayan fii Ahkamil Iqomah wal Adzan hlm. 115-116, muroja’ah Syaikh al-Albani dan Syaikh Masyhur bin Hasan.
[12] Faedah: Banyak orang Indonesia menerjemahkan idhul fithri dengan “Kembali Suci”. Terjemahan ini salah kaprah ditinjau dari segi bahasa dan syara’, sebagaimana dijelaskan oleh Ustadzuna Abdul Hakim Abdat dalam Majalah As Sunnah 05/Th. 1 hlm. 34-35 dan Ustadzuna Abu Nu’aim dalam Majalah Al Furqon 03/Th. 1 hlm. 12-13. Semoga Allah membalas kebaikan untuk keduanya.
[13] HR. Ahmad 3/103, Abu Dawud 1134 dan Nasai 3/179).
[14] Fathul Bari 1/159, Tafsir Ibnu Rojab 1/390.
[15] Lathoiful Ma’arif hlm. 228.
[16] Ucapan ini populer dari Imam Syafi’i sebagaimana dinukil oleh para imam madzhab Syafi’i seperti al-Ghozali dalam al-Mankhul hlm. 374 dan al-Mahalli dalam Jam’ul Jawami’ 2/395 dan lain sebagainya. (Lihat Ilmu Ushul Bida’ hlm. 121 oleh Syaikh Ali Hasan).
[17] Irsyadul Fuhul hlm. 240.
[18] Lihat Al-Ibda’ fi Madhoril Ibtida’ hlm. 265-286 oleh Syaikh Ali Mahfudh, Al-Burhanul Mubin fi Tashoddi lil Bida’ wal Abathil 1/524,  Al-Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’ oleh as-Suyuthi hlm. 192, ta’liq Syaikh Masyhur Hasan, Mu’jamul Bida’ hlm. 98-99 oleh Raid Shobri.
[19] Lihat pula Al-Ibda’ fii Madhoril Ibtida’ hlm. 183 oleh Syaikh Ali Mahfudh, Al-Bid’ah hlm, 31 oleh Syaltut, Mu’jamul Bida’ hlm. 53 oleh Raid Shabri, Tashihu Du’a oleh Bakr Abu Zaid hlm. 270
[20] Ahkam al-Maqobir hal. 302
[21] Mukhtashor al-Khalil Ala Mawahib al-Jalil 2/237.
[22] Ahkam al-Maqobir hal. 302. Lihat pula risalah kami “Agar Ziarah Membawa Berkah” hlm. 17, cet Media Tarbiyah Bogor.
[23] Al-Bida’ al-Hauliyyah 2/431, Bida’ Wa Akhtho’ hal.396


♥♥♡♡♡♥♥♡♡♡♥♥♡♡♡♥♥♡♡♡♥♥

 ⌣̊┈»̶·̵̭̌✽✽·̵̭̌«̶┈⌣̊