Jumat, 12 September 2014

Bukan "Sinetron"





Al imamul Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata
    "Apabila seseorang telah menyatakan dirinya beriman, maka segeralah ia bersiap-siap karena sesungguhnya panah-panah fitnah akan mengarah padanya."

dalam surat al-ankabut ayat 2 Allah Subhanallahu Wata'ala berfirman



Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?

fitnah yang akan menimpa umat manusia adalah dalam dua urusan besar kehidupan mereka, yaitu dalam urusan agama dan urusan dunia mereka.

Dalam urusan manusia tentang masalah ber-agama ujian akan datang menimpa pada keimanan serta kehidupan beragama itu sendiri. 
Dimana di jaman yang serba modern serba canggih dan serba cepat, informasi dan teknologi seolah berlomba lari saling susul menyusul sehingga tak jarang memunculkan distorsi pada benteng benteng keimanan umat manusia. 
Sedangkan dalam kehidupan ber-agama seringkali perbedaan pendapat dan cara pandang dalam menjalankan agama itu sendiri memunculkan riak dalam berhubungan keber-agamaan dengan masyarakat sekitar.

Dalam urusan dunia segala sesuatunya bisa jadi fitnah, semua yang ada di sekitar kita, anak - pasangan - orangtua - kawan - kerabat - dan setiap individu bisa jadi fitnah bagi individu yang lain, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Furqon ayat 20


"............     وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ      ............"

  Dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain.
Maukah kamu bersabar?


Begitulah sesungguhnya hakekat kehidupan di dunia ini, segala sesuatu nya adalah fitnah, segala sesuatu nya sesungguhnya hanya cobaan.......maka apakah kita akan bersabar, ataukah kita akan jadi ingkar dan kemudian jadi makar.

Yang harus kita pahami tentang kehidupan di dunia ini adalah, bahwa 

Dunia ini bukanlah surga yang penuh dengan kenikmatan
   Tak ada kebahagian yang abadi di dunia ini, setiap orang bagaimanapun kondisi dan keadaannya pasti mengalami kesusahan dan episode suram dalam hidupnya.  

Dunia ini bukanlah kampung keabadian
    Segala yang didunia ini selalu berubah dan berubah, baik itu secara lahiriah maupun batiniah.  Maka tak ada yang perlu disombongkan, secara fisik kulit halus mulus kencang paling lama bisa bertahan berapa lama, tubuh gagah perkasa paling kuat berapa lama. 
Maka sungguh tak ada yang bisa dan perlu untuk disombongkan.

Dunia ini adalah kampung ujian Dan seperti itulah memang sebenarnya kita manusia ini diciptakan, kita tidaklah dicipta dalam kondisi yang serba enak, sebelum lahir kita butuh waktu untuk tumbuh dan siap menghadapi dunia, dan ketika lahir pun kita menjalani proses jatuh bangun hingga dewasa.
Dan ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Al-Balad ayat 4
   

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.
  

 Dengan segala kenyataan terpapar diatas, maka sungguh amat disayangkan bila hidup di dunia ini hanya segala hal yang bersifat sementara saja yang jadi tujuan kita, yang kita buru dan kejar sepanjang hari.       
Allah Subhanallahu Wata'ala sudah memperingatkan kita
 
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًا وَفِي اْلآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُوْرِ

Ketahuilah oleh kalian, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kalian serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang karenanya tumbuh tanam-tanaman yang membuat kagum para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lantas menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan- Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al- Hadid: 20)



Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu dalam Tafsir-nya terhadap ayat diatas menyatakan, “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang hakikat dunia dan apa yang ada di atasnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan akhir kesudahannya dan kesudahan penduduknya. 
Dunia adalah permainan dan sesuatu yang melalaikan. Mempermainkan tubuh dan melalaikan hati. Bukti akan hal ini didapatkan dan terjadi pada anak-anak dunia. 
Engkau dapati mereka menghabiskan waktu-waktu dalam umur mereka dengan sesuatu yang melalaikan hati dan melengahkan dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun janji (pahala dan surga, –pent.) dan ancaman (adzab dan neraka, –pent.) yang ada di hadapan, engkau lihat mereka telah menjadikan agama mereka sebagai permainan dan gurauan belaka. 
Berbeda halnya dengan orang yang sadar dan orang-orang yang beramal untuk akhirat. Hati mereka penuh disemarakkan dengan dzikrullah, mengenali dan mencintai-Nya. 
Mereka sibukkan waktu-waktu mereka dengan melakukan amalan yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah daripada membuangnya untuk sesuatu yang manfaatnya sedikit.”


Asy-Syaikh rahimahullahu melanjutkan, “Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan permisalan bagi dunia dengan hujan yang turun di atas bumi. Suburlah karenanya tumbuh-tumbuhan yang dimakan oleh manusia dan hewan. Hingga ketika bumi telah memakai perhiasan dan keindahannya, dan para penanamnya, yang cita- cita dan pandangan mereka hanya sebatas dunia, pun terkagum-kagum karenanya. 
Datanglah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang akhirnya tanaman itu layu, menguning, kering dan hancur. Bumi kembali kepada keadaannya semula, seakan- akan belum pernah ada tetumbuhan yang hijau di atasnya. 
Demikianlah dunia. Tatkala pemiliknya bermegah-megahan dengannya, apa saja yang ia inginkan dari tuntutan dunia dapat ia peroleh. Apa saja perkara dunia yang ia tuju, ia dapatkan pintu-pintunya terbuka. 
Namun tiba-tiba ketetapan takdir menimpanya berupa hilangnya dunianya dari tangannya. Hilangnya kekuasaannya… Jadilah ia meninggalkan dunia dengan tangan kosong, tidak ada bekal yang dibawanya kecuali kain kafan….” 
(Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 841)

Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkisah, “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati pasar sementara orang-orang ada di sekitar beliau.  Kemudian Beliau melintasi bangkai seekor anak kambing yang kecil atau terputus telinganya (cacat), kemudian Beliau memegang telinga bangkai tersebut seraya berkata: 


أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ؟ فَقَالُوا: مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ: أَتُحِبُّوْنَ أَنَّهُ لَكُمْ؟ قَالُوا: وَاللهِ، لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيْهِ لِأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ؟ فَقَالَ: فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ

Siapa di antara kalian yang suka memiliki anak kambing ini dengan membayar seharga satu dirham?” Mereka menjawab, “Kami tidak ingin memilikinya dengan harga semurah apapun. Apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai ini?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, “Apakah kalian suka bangkai anak kambing ini menjadi milik kalian?” “Demi Allah, seandainya pun anak kambing ini masih hidup, tetaplah ada cacat, kecil/terputus telinganya. Apatah lagi ia telah menjadi seonggok bangkai,” jawab mereka. Beliau pun bersabda setelahnya, “Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada hinanya bangkai ini bagi kalian.”  (HR. Muslim no.7344)



Maka sebagai mahluk yang dianugerahkan oleh Allah dengan akal pikiran dan keutamaan maka ketika mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan dunia, maka mereka para sahabat pun enggan untuk tenggelam dalam kesenangannya. 
Apalagi kemudian mereka mengetahui bahwa Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di dunia penuh kezuhudan serta telah memperingatkan para shahabatnya dari fitnah dunia. 
Maka mereka pun akan mengambil dunia hanya sekedarnya dan mengeluarkannya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebanyak- banyaknya.  
 Yang mereka ambil sekedar yang mencukupi dan mereka akan tinggalkan yang melalaikan.

Seperti demikianlah seharusnya sikap kita terhadap dunia ini, sebagaimana yang telah di contohkan oleh orang-orang terdahulu. 

Adalah sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau menyampaikan pesan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam 

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ
 Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (HR. Al-Bukhari no. 6416)
Kemudian setelah menyampaikan hadis tersebut beliau berkata, Bila engkau berada di sore hati maka janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya bila engkau berada di pagi hari, janganlah menanti sore. Gunakanlah waktu sehatmu (untuk beramal ketaatan) sebelum datang sakitmu. Dan gunakan hidupmu (untuk beramal shalih) sebelum kematian menjemputmu.”


Adapun mengenai kezhuhudan dan sifat qana'ah (merasa cukup dengan apa yang dimiliki) beliau Radhiyallahu anhum, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Pemuda Quraisy yang paling dapat menahan dirinya dari dunia adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma.” (Siyar A’lamin Nubala`, hal. 3/211)




Maka yakinkan diri kita, bahwasannya hidup bukanlah panggung sandiwara atau sebuah sinetron yangmana semua serba indah mewah bergelimang harta, namun hidup dan kehidupan ini adalah tempat ujian semata



semoga bermanfaat sebagai pengingat diri sendiri
dicatat dari kajian ust. Abdur Ro'uf  
oleh Moh. Eko Subekti bin Sujitno bin Darmo Soemarto bin Khasan Mubari  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar