disusun sari katakan:
Moh, Eko Subekti bin Sujitno bin Darmo Soemarto bin Khasan Mubari
Innal hamda lillahi, nahmaduhu wa nasta’inuhu wa nastaghfiruhu.
Wa na’udzubillahi min suruuri anfusinaa wa min sayyi’ati a’malina.
Man yahdihillahu fa laa yudhillalahu ma wan yudhlil fa laa haadiyalahu.
Asyhadu anla ilaaha illAllah wa asyhadu anna muhammadar Rasuulullah.
Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya.
Dan kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami.
Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.
Amma ba'd
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
الحمد الله وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، أما بعد
Pujian yang tak berhingga selalu kita ucapkan untuk mengungkap rasa syukur kita kepada Allah عزّوجلّ, yang telah menjadikan nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم sebagai teladan kita dalam segala sisi kehidupan.
Ketika kata jihad terdengar maka kebanyakan orang konotasinya adalah jihad memerangi orang kafir. Padahal hal ini hanyalah salah satu dari bentuk dan jenis jihad, karena pengertian jihad sendiri lebih umum dan lebih luas dari hal tersebut.
Kata Jihad sendiri berasal dari kata Al Jahd (ُالجَهْد) dengan difathahkan huruf jimnya yang bermakna kelelahan dan kesusahan
atau bisa juga dari Al Juhd (الجُهْدُ) dengan didhommahkan huruf jimnya yang bermakna kemampuan.
Kalimat (بَلَغَ جُهْدَهُ) bermakna mengeluarkan kemampuannya. Sehingga orang yang berjihad dijalan Allah adalah orang yang mencapai kelelahan karena Allah dan meninggikan kalimatNya yang menjadikannya sebagai cara dan jalan menuju surga. Dan di balik jihad memerangi jiwa dan jihad dengan pedang, ada jihad hati yaitu jihad melawan syetan dan mencegah jiwa dari hawa nafsu dan syahwat yang diharamkan. Juga ada jihad dengan tangan dan lisan berupa amar ma’ruf nahi mungkar. [1]
Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728H) mendefinisikan jihad dengan pernyataan,
“Jihad artinya mengerahkan seluruh kemampuan yaitu kemampuan mendapatkan yang dicintai Allah dan menolak yang dibenci Allah” [2]
beliau rahimahullah juga menyatakan, “Jihad hakikatnya adalah bersungguh-sungguh mencapai sesuatu yang Allah cintai berupa iman dan amal sholeh dan menolak sesuatu yang dibenci Allah berupa kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan” [3]
Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin Al ‘Abaad menyatakan bahwa definisi dari jihad menurut Ibnu Taimiyah di atas adalah yang terbaik diantara semua pendapat dan beliau menyatakan:
"Dipahami dari pernyataan Ibnu Taimiyah di atas bahwa jihad dalam pengertian syar’i adalah istilah yang meliputi penggunaan semua sebab dan cara untuk mewujudkan perbuatan, perkataan dan keyakinan (i’tiqad) yang Allah cintai dan ridhoi serta menolak perbuatan, perkataan dan keyakinan yang Allah benci dan murkai." [4]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan jenis jihad ditinjau dari obyeknya dengan menyatakan bahwa jihad memiliki empat tingkatan, yaitu (1) jihad memerangi hawa nafsu, (2) jihad memerangi syetan, (3) jihad memerangi orang kafir dan (4) jihad memerangi orang munafik. [5] jihad melawan pelaku kezhaliman, bid’ah dan kemungkaran (5) [6]
Bagi jenis-jenis jihad di atas beliau rahimahullah menjelaskan bahwa masih dibagi lagi menjadi 13 tngkatan dengan menyatakan bahwa:
jihad memerangi nafsu memiliki empat tingkatan:
1. Jihad memeranginya untuk belajar petunjuk ilahi dan agama yang lurus yang menjadi sumber keberuntungan dan kebahagian dalam kehidupan dunia dan akhiratnya. Siapa yang kehilangan ilmu petunjuk ini maka akan sengsara di dunia dan akhirat.
2. Jihad memeranginya untuk mengamalkannya setelah mengilmuinya. Kalau tidak demikian, maka sekadar hanya mengilmuinya tanpa amal, jika tidak membahayakannya, maka tidak akan memberi manfaat.
3. Jihad memeranginya untuk berdakwah dan mengajarkan ilmu tersebut kepada yang tidak mengetahuinya. Kalau tidak demikian, ia termasuk orang yang menyembunyikan petunjuk dan penjelasan yang telah Allah turunkan. Dan ilmunya tersebut tidak bermanfaat dan tidak menyelamatkannya dari adzab Allah.
4. Jihad memeranginya untuk tabah menghadapi kesulitan dakwah, gangguan orang dan sabar memanggulnya karena Allah.
jihad memerangi syetan memiliki dua tingkatan:
1. Memeranginya untuk menolak syubhat dan keraguan yang merusak iman yang syetan arahkan kepada hamba.
2. Memeranginya untuk menolak keingininan buruk dan syahwat yang syetan lemparkan kepadanya.
Jihad yang pertama (mengatasi syubhat) dilakukan dengan yakin dan jihad yang kedua (mengatasi syahwat) dengan kesabaran. Allah Ta’ala berfirman,
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin
yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.Dan
adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah:
24). Allah menjelaskan bahwa kepemimpinan agama hanyalah didapatkan
dengan kesabaran dan yakin, lalu dengan kesabaran ia menolak syahwat dan
keinginan rusak dan dengan yakin ia menolak keraguan dan syubhat.jihad memerangi orang kafir dan munafik memiliki 4 tingkatan yaitu dengan hati, lisan, harta dan jiwa. Jihad memerangi orang kafir lebih khusus dengan tangan sedangkan jihad memerangi orang munafiq lebih khusus dengan lisan.
Dan jihad memerangi pelaku kezholiman, kebid’ahan dan kemungkaran memiliki 3 tingkatan yaitu
(1) dengan tangan bila mampu,
(2) apabila tidak mampu, berpindah pada lisan,
(3) bila juga tidak mampu maka diingkari dengan hati.
Dari keseluruhan pemaparan al imamu ibnul Qoyyim Rahimahullah diatas maka sudah seharusnya seorang muslim memulai jihad fi sabilillah dengan jihad nafsi untuk taat kepada Allah dengan cara memerangi jiwa untuk menuntut ilmu dan memahami agama (din) Islam dengan memahami Al Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus sholeh. Kemudian mengamalkan seluruh ilmu yang dimilikinya, karena maksud tujuan ilmu adalah diamalkan. Setelah itu barulah ia memerangi jiwa untuk berdakwah mengajak manusia kepada ilmu dan amal lalu bersabar dari semua gangguan dan rintangan ketika belajar, beramal dan berdakwah. Inilah jihad memerangi nafsu yang merupakan jihad terbesar dan harus didahulukan dari selainnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan, “Jihad memerangi musuh Allah yang di luar (jiwa) adalah cabang dari jihad memerangi jiwa, sebagaimana sabda nabi shallallahu ‘alaih wa sallam,
وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ
“Mujahid adalah orang yang berjihad memerangi jiwanya
dalam ketaatan kepada Allah dan Muhajir adalah orang yang berhijrah dari
larangan Allah.” (HR. Ahmad 6/21, sanadnya shahih, -ed)
Maka jihad memerangi jiwa didahulukan dari jihad memerangi musuh-musuh Allah yang di luar (jiwa), dan menjadi induk dari semua Jihad. Karena orang yang belum berjihad (memerangi) jiwanya terlebih dahulu untuk melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan serta belum memeranginya di jalan Allah, maka ia tidak dapat memerangi musuh yang di luar itu.
Seperti disebut diatas jihadun nafsi yang pertama adalah untuk mengajak diri ini menuntut ilmu yang syar'i, dan menuntut ilmu itu adalah suatu hal yang wajib, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam :
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ على كل مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.”
(Hadits sahih, diriwayatkan dari beberapa
sahabat diantaranya: Anas bin Malik, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ali bin Abi
Thalib, dan Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallahu Anhum. Lihat: Sahih
al-jami: 3913)
Inilah beberapa keutamaan ilmu yang disebutkan didalam Al-qur’an dan As-Sunnah :
. 1). Ilmu adalah cahaya
Allah Ta’ala berfirman:
قَدْ
جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ يَهْدِي بِهِ اللَّهُ
مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ
الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ
مُسْتَقِيمٍ
“Sesungguhnya
telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan .
Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti
keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan Allah mengeluarkan mereka dari
gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan
menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”
(QS.Al-Maidah:5-6)
Kedua ayat
ini menunjukkan tentang keutamaan ilmu, yang disifatkan sebagai cahaya
yang membimbing siapa saja yang mengikuti keridhaan-Nya menuju
jalan-jalan keselamatan, berupa jalan yang menyelamatkan seorang hamba
dari penyimpangan dan kesesatan, dan mengantarkan seorang hamba menuju
keselamatan dunia dan akhirat, mengeluarkan mereka dari kegelapan,
kegelapan syirik, bid’ah, kemaksiatan dan kejahilan, menuju kepada
cahaya tauhid, ilmu, hidayah, ketaatan dan seluruh kebaikan.
ada satu dari bait-bait
syair yang masyhur dari Imam Syafi’i yaitu tatkala Beliau mengadukan tentang
buruknya hafalan Beliau kepada Imam Waki’ bin Jarrah, Beliau mengatakan:
شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِيْ فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ المَعَاصِي
وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ العِلْمَ نُوْرٌ وَنُوْرُ اللهِ لَا يُؤْتَى لِعَاصِي
Aku mengadukan kepada Waki’ keburukan hafalanku
Lalu Beliau membimbing aku untuk meninggalkan maksiat
Beliau mengabarkan kepadaku bahwa ilmu itu adalah cahaya
Dan cahaya Allah tidak diberikan kepada pelaku maksiat
.2). Ilmu merupakan tanda kebaikan seorang hamba
Ketika
seorang hamba diberi kemudahan untuk memahami dan mempelajari ilmu
syar’i, itu menunjukkan bahwa Allah menghendaki kebaikan bagi hamba
tersebut, dan membimbingnya menuju kepada hal-hal yang diridhai-Nya.
Kehidupannya
menjadi berarti, masa depannya cemerlang, dan kenikmatan yang tak
pernah dirasakan di dunia pun akan diraihnya. Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam bersabda:
من يُرِدْ الله بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ في الدِّينِ
“Siapa yang Allah kehendaki kebaikan kepada seorang hamba maka Ia akan difahamkan tentang agamnya.”
(Muttafaq Alaihi dari Muawiyah bin Abi Sufyan Radhiallahu anhuma)
Dan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ عز وجل خَلَقَ خَلْقَهُ في ظُلْمَةٍ فَأَلْقَى عليهم من نُورِهِ فَمَنْ أَصَابَهُ من ذلك النُّورِ اهْتَدَى وَمَنْ أَخْطَأَهُ ضَلَّ
“Sesungguhnya
Allah Azza Wajalla menciptaan makhluk-Nya dalam kegelapan, Lalu Allah
memberikan kepada mereka dari cahaya-Nya, maka siapa yang mendapatkan
cahaya tersebut, maka dia mendapatkan hidayah, dan siapa yang tidak
mendapatkannya maka dia tersesat.”
(HR. Ahmad
(2/176), Tirmidzi,no:2642, Ibnu Hibban (6169),Al-Hakim dalam mustadrak
(1/84), dari hadits Abdullah bin Amr bin Ash. Disahihkan Al-Albani dalam
Ash-Shahihah (3/1076)
Bagi
seorang muslim yang yakin dengan nasehat-nasehat Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam, tentu saja sangat berkeinginan untuk andil dalam
mendapatkan kebaikan yang dijanjikan Allah Ta’ala bagi para penuntut
ilmu syar’i tersebut.
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar tatkala menjelaskan hadits Muawiyah yang telah disebutkan diatas:
لأن من لم يعرف أمور دينه لا يكون فقيها ولا طالب فقه فيصح أن يوصف بأنه ما أريد به الخير وفي ذلك بيان ظاهر لفضل العلماء على سائر الناس ولفضل التفقه في الدين على سائر العلوم
“Sebab
orang yang tidak memahami perkara agamanya, dia bukanlah seorang yang
faqih dan bukan pula seorang yang menuntut ilmu, sehingga tepat jika ia
disifati sebagai orang yang tidak dikehendaki kebaikan untuknya. Ini
merupakan penjelasan yang terang yang menunjukkan keutamaan para ulama
dibanding seluruh manusia, dan menunjukkan keutamaan mendalami agama
dibanding ilmu- ilmu lainnya.”
(Fathul bari,Ibnu Hajar Al-Asqalani: 1/165)
Marilah....marilah! Jadilah orang- orang terbaik yang dimuliakan Allah Azza
Wajalla, dengan berusaha mempelajari agama Allah dan mengajarkannya.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
خَيْرُكُمْ من تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik- baik kalian adalah yang mempelajari al-qur’an dan mengajarkannya.”
(HR.Bukhari (4739), dari Utsman Bin Affan Radhiallahu Anhu)
Menuntut
ilmu agama merupakan bagian dari ibadah, dimana setiap muslim
diperintahkan untuk mempelajarinya, masing-masing sesuai kemampuan yang
Allah berikan padanya.
Disamping
hukum wajibnya menuntut ilmu syar’i, Allah Ta’ala dan Rasul-Nya banyak
sekali menyebutkan tentang keutamaan menuntut ilmu, yang seharusnya
sebagai seorang muslim, menjadikan dalil-dalil tersebut sebagai
penyemangat lalu berusaha mengisi waktu-waktunya dengan mempelajari
kitabullah dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Sebab hal itu akan menjadi pedoman hidup seorang hamba yang mengharapkan
hidayah dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
إني قد تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما كتاب الله وسنتي
“Sesungguhnya aku telah tinggalkan untuk kalian dua pedoman yang kalian tidak akan tersesat setelahnya: kitabullah dan sunnahku”
(HR.Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/172), dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu. Disahihkan Al-Albani dalam Shaih Al-jami’: 2937)
Berikut ini kami menyebutkan beberapa keutamaan ilmu yang disebutkan didalam Al-qur’an dan As-Sunnah :
. 1). Ilmu adalah cahaya
Allah Ta’ala berfirman:
قَدْ
جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ يَهْدِي بِهِ اللَّهُ
مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ
الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ
مُسْتَقِيمٍ
“Sesungguhnya
telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan .
Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti
keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan Allah mengeluarkan mereka dari
gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan
menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”
(QS.Al-Maidah:5-6)
Kedua ayat
ini menunjukkan tentang keutamaan ilmu, yang disifatkan sebagai cahaya
yang membimbing siapa saja yang mengikuti keridhaan-Nya menuju
jalan-jalan keselamatan, berupa jalan yang menyelamatkan seorang hamba
dari penyimpangan dan kesesatan, dan mengantarkan seorang hamba menuju
keselamatan dunia dan akhirat, mengeluarkan mereka dari kegelapan,
kegelapan syirik, bid’ah, kemaksiatan dan kejahilan, menuju kepada
cahaya tauhid, ilmu, hidayah, ketaatan dan seluruh kebaikan.
Oleh
karenanya, jika seseorang lebih condong mengikuti hawa nafsunya, gemar
melakukan kemaksiatan, yang menyebabkan hatinya menjadi gelap, maka ilmu
akan sulit menempati hati yang gelap tersebut, sulit menghafal ayat-
ayat Allah dan men-tadabburi-nya, sulit menghafal hadits-hadits
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, memahami dan mengaplikasikan
dalam kehidupannya, sebab tidak akan mungkin berkumpul dalam satu hati
antara kegelapan maksiat dengan cahaya ilmu. Diantara bait-bait syair
yang masyhur dari Imam Syafi’i tatkala Beliau mengadukan tentang
buruknya hafalan Beliau kepada Imam Waki’ bin Jarrah, Beliau mengatakan:
شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِيْ
فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ المَعَاصِي
فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ المَعَاصِي
وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ العِلْمَ نُوْرٌ
وَنُوْرُ اللهِ لَا يُؤْتَى لِعَاصِي
وَنُوْرُ اللهِ لَا يُؤْتَى لِعَاصِي
Aku mengadukan kepada Waki’ keburukan hafalanku
Lalu Beliau membimbing aku untuk meninggalkan maksiat
Beliau mengabarkan kepadaku bahwa ilmu itu adalah cahaya
Dan cahaya Allah tidak diberikan kepada pelaku maksiat
.2). Ilmu merupakan tanda kebaikan seorang hamba
Ketika
seorang hamba diberi kemudahan untuk memahami dan mempelajari ilmu
syar’i, itu menunjukkan bahwa Allah menghendaki kebaikan bagi hamba
tersebut, dan membimbingnya menuju kepada hal-hal yang diridhai-Nya.
Kehidupannya
menjadi berarti, masa depannya cemerlang, dan kenikmatan yang tak
pernah dirasakan di dunia pun akan diraihnya. Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam bersabda:
من يُرِدْ الله بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ في الدِّينِ
“Siapa yang Allah kehendaki kebaikan kepada seorang hamba maka Ia akan difahamkan tentang agamnya.”
(Muttafaq Alaihi dari Muawiyah bin Abi Sufyan Radhiallahu anhuma)
Dan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ عز وجل خَلَقَ خَلْقَهُ في ظُلْمَةٍ فَأَلْقَى عليهم من نُورِهِ فَمَنْ أَصَابَهُ من ذلك النُّورِ اهْتَدَى وَمَنْ أَخْطَأَهُ ضَلَّ
“Sesungguhnya
Allah Azza Wajalla menciptaan makhluk-Nya dalam kegelapan, Lalu Allah
memberikan kepada mereka dari cahaya-Nya, maka siapa yang mendapatkan
cahaya tersebut, maka dia mendapatkan hidayah, dan siapa yang tidak
mendapatkannya maka dia tersesat.”
(HR. Ahmad
(2/176), Tirmidzi,no:2642, Ibnu Hibban (6169),Al-Hakim dalam mustadrak
(1/84), dari hadits Abdullah bin Amr bin Ash. Disahihkan Al-Albani dalam
Ash-Shahihah (3/1076)
Bagi
seorang muslim yang yakin dengan nasehat-nasehat Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam, tentu saja sangat berkeinginan untuk andil dalam
mendapatkan kebaikan yang dijanjikan Allah Ta’ala bagi para penuntut
ilmu syar’i tersebut.
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar tatkala menjelaskan hadits Muawiyah yang telah disebutkan diatas:
لأن من لم يعرف أمور دينه لا يكون فقيها ولا طالب فقه فيصح أن يوصف بأنه ما أريد به الخير وفي ذلك بيان ظاهر لفضل العلماء على سائر الناس ولفضل التفقه في الدين على سائر العلوم
“Sebab
orang yang tidak memahami perkara agamanya, dia bukanlah seorang yang
faqih dan bukan pula seorang yang menuntut ilmu, sehingga tepat jika ia
disifati sebagai orang yang tidak dikehendaki kebaikan untuknya. Ini
merupakan penjelasan yang terang yang menunjukkan keutamaan para ulama
dibanding seluruh manusia, dan menunjukkan keutamaan mendalami agama
dibanding ilmu- ilmu lainnya.” (Fathul bari,Ibnu Hajar Al-Asqalani: 1/165)
Saudaraku
muslim! Jadilah orang- orang terbaik yang dimuliakan Allah Azza
Wajalla, dengan berusaha mempelajari agama Allah dan mengajarkannya.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
خَيْرُكُمْ من تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik- baik kalian adalah yang mempelajari al-qur’an dan mengajarkannya.”
(HR.Bukhari (4739), dari Utsman Bin Affan Radhiallahu Anhu)
.3). Ilmu agama menyelamatkan dari laknat Allah Azza Wajalla
Disebutkan
dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah
Radhiallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ ما فيها إلا ذِكْرُ اللَّهِ وما وَالَاهُ وَعَالِمٌ أو مُتَعَلِّمٌ
“Sesungguhnya
dunia itu terlaknat, terlaknat segala isinya, kecuali zikir kepada
Allah dan amalan- amalan ketaatan, demikian pula seorang yang alim atau
yang belajar.”
(HR.Tirmidzi (2322), Ibnu Majah (4112), dihasankan Al-Albani dalam sahih al-jami’,no:1609)
Berkata
Al-Munawi dalam menjelaskan hadits ini: “dunia terlaknat, disebabkan
karena ia memperdaya jiwa-jiwa manusia dengan keindahan dan
kenikmatannya, yang memalingkannya dari beribadah kepada Allah lalu
mengikuti hawa nafsunya.”
(Tuhfatul ahwadzi:6/504)
فكل عمل يعمله العبد ولا يكون طاعة لله وعبادة وعملا صالحا فهو باطل فإن الدنيا ملعونة ملعون ما فيها إلا ما كان لله وإن نال بذلك العمل رئاسة ومالا فغاية المترئس أن يكون كفرعون وغاية المتمول أن يكون كقارون
Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah: “Setiap amalan yang dilakukan
seorang hamba yang tidak berbentuk ketaatan, ibadah dan amalan saleh
maka amalan tersebut merupakan amalan yang batil, sebab dunia ini
terlaknat dan terlaknat segala isinya kecuali sesuatu yang dilakukan
karena Allah, meskipun amalan batil itu menyebabkan seorang meraih
kepemimpinan dan harta, maka seorang pemimpin bisa menjadi Firaun, dan
seorang yang gila harta bisa menjadi Qarun.” (Majmu’ fatawa:8/76)
Maka
dengan menuntut ilmu dan mengajarkannya, akan menjadikan seorang hamba
yang masuk kedalam kelompok yang akan meraih ridha-Nya, dan selamat dari
kemurkaan dan siksa-Nya.
.4). Menuntut Ilmu, jalan menuju surga
Disebutkan dalam sahih Muslim, dari hadits Abu Hurairah Radhiallahu anha, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فيه عِلْمًا سَهَّلَ الله له بِهِ طَرِيقًا إلى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang menempuh satu jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah menudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR.Muslim:2699)
Hadits ini
menerangkan bahwa seorang yang keluar untuk menuntut ilmu, akan menjadi
sebab masuknya seorang hamba ke dalam surga. Mengapa demikian? Ya,
tatkala seorang muslim mempelajari agamanya dengan penuh keikhlasan,
maka dia akan dimudahkan untuk memahami mana yang baik dan mana yang
buruk, antara yang halal dan yang haram, yang haq dan yang batil, lalu
dia berusaha mengamalkan apa yang telah ia ketahui dari ilmu tersebut,
sehingga ia menggabungkan antara ilmu dan amal dengan keikhlasan dan
mengikuti bimbingan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam , maka dia menjadi
seorang hamba yang diridhai-Nya, dan tiada balasan dari Allah Ta’ala
bagi hamba yang diridhai-Nya melainkan surga.
Banyak
kaum muslimin yang beranggapan bahwa menuntut ilmu agama itu hanya tugas
para santri yang duduk di pondok-pondok pesantren. Tentu ini merupakan
persepsi yang salah, sebab setiap muslim telah diwajibkan untuk
mempelajarinya, sebagaimana yang telah kita sebutkan dari hadits Nabi
Shallallahu Alaihi Wasallam.
Hadits ini
menjelaskan bahwa balasan yang Allah berikan kepada hambanya setimpal
dengan usaha yang telah dia lakukan, sebagaimana dia menempuh jalan
untuk mencari kehidupan hatinya dan keselamatan dirinya dari kebinasaan,
maka Allah menjadikannya menempuh jalan yang ingin diraihnya tersebut.
(lihat: Miftahu Daris sa’aadah,Ibnul Qayyim: 71)
5). Ilmu lebih utama dari ibadah
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
فضل العلم أحب إلي من فضل العبادة و خير دينكم الورع
“Keutamaan ilmu lebih aku sukai dari keutamaan ibadah, dan sebaik-baik agama kalian adalah bersikap wara’"
(HR.Al-Hakim,
Al-Bazzar, At-Thayalisi, dari Hudzaifah bin Yaman Radhiallahu Anhu.
Disahihkan Al-Albani dalam sahih al-jami’:4214)
Dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ على الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ على سَائِرِ الْكَوَاكِبِ
“Sesungguhnya
keutamaan seorang yang berilmu dibanding ahli ibadah, seperti keutamaan
bulan dimalam purnama dibanding seluruh bintang- bintang.”
(HR.Abu Dawud (3641), Ibnu Majah (223), dari hadits Abu Darda’ Radhiallahu Anhu)
Yang
dimaksud hadits ini bahwa memiliki ilmu dengan cara menuntutnya, atau
mengajarkannya, merupakan amalan ibadah yang lebih utama dibanding
amalan ibadah lainnya, seperti shalat sunnah, berpuasa sunnah, dan yang
lainnya. Bukan yang dimaksud hadits ini bahwa ilmu bukan bagian dari
ibadah, namun maksudnya bahwa ilmu merupakan bagian ibadah yang paling
mulia, bahkan bagian dari jihad fi sabilillah.
Berkata Sufyan Ats-Tsauri
Rahimahullah:
“Aku tidak mengetahui ada satu ibadah yang lebih utama dari engkau mengajarkan ilmu kepada manusia.” (Jami’ bayanil ilmi, Ibnu Abdil Bar: 227)
Beliau juga berkata:
“Tiada satu amalan yang lebih utama dari menuntut ilmu jika niatnya benar.”
(Jami’u bayanil ilmi:119)
Berkata Abu Darda’ Rahimahullah:
“Barangsiapa
yang menyangka bahwa berangkat menuntut ilmu bukan amalan jihad, maka
sungguh ia telah kurang pandangan dan akalnya.” (Miftahu daris sa’adah:1/122)
Masih
banyak lagi keutamaan ilmu yang dijelaskan di dalam Al-qur’an dan
Sunnah, namun semoga yang sedikit ini menjadi pemicu semangat kita untuk
berusaha menggali warisan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang
penuh berkah ini.
sebagai pelengkap akan saya persembahkan tauziah dari ustadz Abu Hammam yang bisa di download dengan langsung meng klik judulnya atau bila lewat pc tidak bisa bisa klik kanan lalu pilih save like ass.....
semoga manfaat
jihad melawan hawa nafsu01.mp3
jihad melawan hawa nafsu02.mp3
jihad melawan hawa nafsu03.mp3
sebagai pelengkap akan saya persembahkan tauziah dari ustadz Abu Hammam yang bisa di download dengan langsung meng klik judulnya atau bila lewat pc tidak bisa bisa klik kanan lalu pilih save like ass.....
semoga manfaat
jihad melawan hawa nafsu01.mp3
jihad melawan hawa nafsu02.mp3
jihad melawan hawa nafsu03.mp3
Akhir kata saya berharap semoga Allah Ta’ala memberikan kepada kita ganjaran yang baik
dan menunjukkan ke jalan yang benar, menghidupkan dan mewafatkan kita
diatas
Islam dan Sunnah. Semoga shalawat selalu dilimpahkan kepada Nabi Shalallahu
‘alaihi wa sallam, keluarga, para sahabatnya, dan orang-orang yang
mengikuti beliau dengan baik hingga hari kiamat.
=====================================================================
ccatatan kaki
[1] Al I’lam Bi Fawa’id Umdat Al Ahkam, Ibnu Al Mulaqqin, tahqiq Abdulaziz Ahmad Al Musyaiqih, cetakan pertama tahun 1421H, Dar Al ‘Ashimah, 10/267.
[2] Majmu’ Al Fatawa, 10/192-193
[3] ibid 10/191
[4] Al Quthuf Al Jiyaad 5.
[5] Zaadul Ma’ad Fi Hadyi Khoiril ‘Ibaad, Ibnul Qayyim, tahqiq Syu’aib Al Arnauth dan Abdulqadir Al Arnauth, cetakan ketiga tahun 1421H, Muassasat Al Risalah, Bairut 3/9
[6] Ibid 3/10.
bersumber dari : arti-jihad
mari menuntut ilmu
=====================================================================
ccatatan kaki
[1] Al I’lam Bi Fawa’id Umdat Al Ahkam, Ibnu Al Mulaqqin, tahqiq Abdulaziz Ahmad Al Musyaiqih, cetakan pertama tahun 1421H, Dar Al ‘Ashimah, 10/267.
[2] Majmu’ Al Fatawa, 10/192-193
[3] ibid 10/191
[4] Al Quthuf Al Jiyaad 5.
[5] Zaadul Ma’ad Fi Hadyi Khoiril ‘Ibaad, Ibnul Qayyim, tahqiq Syu’aib Al Arnauth dan Abdulqadir Al Arnauth, cetakan ketiga tahun 1421H, Muassasat Al Risalah, Bairut 3/9
[6] Ibid 3/10.
bersumber dari : arti-jihad
mari menuntut ilmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar