Selasa, 03 Juni 2014

Membentuk batu jadi permata (Urgensi Pendidikan Anak)

disari susun sari kata kan oleh:
Moh.Eko Subekti bin Sujitno bin Darmo Soemarto bin Khasan Mubari




بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

 

          الحمد الله وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، أما بعد

Pujian yang tak berhingga selalu kita ucapkan untuk mengungkap rasa syukur kita kepada Allah عزّوجلّ, yang telah menjadikan nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم sebagai teladan kita dalam segala sisi kehidupan.

Setiap kita  mempunyai keinginan dan cita-cita yang sama, yaitu menginginkan agar keturunan kita menjadi anak yang salih dan salihah. Namun, terkadang kita lupa bahwa modal utama untuk mencapai cita-cita mulia tersebut ternyata adalah: kesalihan dan ketakwaan diri kita selaku orangtua yang tentu saja sebagai contoh. Alangkah lucunya, manakala kita berharap anak menjadi salih dan bertakwa, sedangkan kita sendiri berkubang dalam maksiat dan dosa!

Kesalihan jiwa dan perilaku orangtua mempunyai andil yang sangat besar dalam membentuk kesalihan anak. Hal ini disebabkan ketika si anak membuka matanya di muka bumi ini, yang pertama kali ia lihat adalah ayah dan bundanya. Maka, apabila ia melihat orangtuanya berhias akhlak mulia serta tekun dalam beribadah, niscaya itulah yang akan terekam dengan kuat di benaknya. Dan insyaAllah itupun juga yang akan ia praktekkan dalam kesehariannya. Pepatah mengatakan: “buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya”.
perlu diingat karakter dasar manusia, terutama anak kecil, adalah suka meniru!

Ketika kita menginginkan anak kita rajin untuk mendirikan shalat lima waktu, maka gamitlah tangannya dan ajaklah berangkat ke masjid bersama. Bukan hanya dengan berteriak memerintahkan anak pergi ke masjid, sementara kita sendiri asyik dengan aktivitas kita sendiri, entah itu dengan hewan peliharaan kita, atau membersihkan kendaraan, atau mungkin asik nongkrong di depan televisi.

Kita sungguh berharap agar anak rajin membaca al-Qur'an, maka kita harus meramaikan rumah dengan lantunan ayat-ayat suci al-Qur'an baik itu yang keluar dari lisan ayah, ibu ataupun kaset dan radio. Jangan malah menghabiskan hari-hari dengan membaca koran, diiringi lantunan langgam gendingan atau suara biduanita yang mendayu-dayu, atau bahkan musik hingar bingar yang katanya membangkitkan semangat.........padahal tanpa sadar justru memadamkan semangat untuk ibadah.

kadang bahkan seringkali kita melupakan satu hal utama yang sangat penting, yaitu tujuan kita sebagai manusia ini diciptakan untuk apa...?  namun bagaimana kita mau ingat lha membuka kembali kitab tuntunan kita Al-quran aja jarang, atau bahkan mungkin tidak pernah.

Kembali pada bagaimana harapan kita pada anak-anak kita, kita pasti menginginkan agar anak kita tumbuh sebagai anak yang jujur. Namun tanpa sadar sedari kecil kita sudah mengajarkannya berbohong, manakala anak menangis merengek minta ikut dengan kita padahal kita sudah tergesa-gesa akan berangkat bekerja, maka apa yang biasa kita lakukan..."jangan ikut nak, ayah mau ke dokter.....nanti kamu di suntik lho..."
tuh khan, tanpa sadar kita sudah mengajarinya berbohong.
Terus apa yang sebaiknya kita lakukan? Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan lembut dan penuh kasih serta pengertian, “Sayang, bapak mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo bapak ke kebun binatang, insyaAllah kamu bisa ikut”.
Tuh khan enak......
 maka bila Anda ingin anak jujur? Mulailah dari diri Anda sendiri!

Allah عزّوجلّ  berfirman dalam salah satu ayatnya 
 

وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ

Artinya: “Orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami akan pertemukan mereka dengan anak cucu mereka”.
QS. Ath-Thur: 21.


 Sungguh, benar-benar sebuah kenikmatan yang membahagiakan, manakala orang tua dapat berjumpa kembali dengan anak-anaknya di dalam surga Allah عزّوجلّ. Merupakan suatu kenikmatan yang sangat besar, dan itu adalah berkat kemurahan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sangat luas. 

Namun perlu diingat, persyaratan yang harus ada (menyertai) adalah yaitu anak-anak mereka juga beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, sebagaimana tercantum secara jelas dalam ayat tersebut. Maka sekali lagi perlu ditegaskan betapa urgennya masalah pendidian anak. 

Perhatikan keterangan Imam Ibnu Katsir rahimahullah tentang ayat di atas berikut ini.

Beliau berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan mengenai keutamaan, kemurahan, kenikmatan dan kelembutan-Nya, serta curahan kebaikan-Nya kepada makhluk. Bahwa kaum mukminin, bila keturunan mereka mengikuti dalam keimanan (sebagaimana keimanan orang tua mereka), niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menempatkan anak-anak yang beriman ini ke derajat orang tua mereka, kendatipun amalan-amalan shalih mereka (anak-anak yang beriman) itu tidak sebanding dengan amalan para orang tuanya itu. Supaya pandangan para orang tua menjadi damai sejuk dengan kebersamaan anak-anaknya di tempat yang sama. Lantas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatukan mereka dalam kondisi terbaik. Anak yang kurang amalannya terangkat oleh orang tuanya yang sempurna amalannya. Hal ini tidak mengurangi sedikit pun amalan dan derajatnya, meskipun mereka berdua akhirnya berada di tempat yang sama.
(Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur`ân (Tafsir al-Qurthubi), Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi, Tahqîq: ‘Abdur-Razzâq al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-’Arabi, Cetakan IV, Tahun 1422 H – 2001 M.)

Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: 

وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ

(dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka).

Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan: Kami tidak mengurangi pahala amalan anak-anak lantaran sedikitnya amalan mereka. Dan pula, tidak mengurangi pahala para orang tua sedikit pun, meskipun menempatkan keturunan mereka bersama dengan orang tua mereka (yang berada di derajat yang lebih tinggi, Pen.).
(Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta`wil Ay Al-Qur`ân, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Dar Ibnu Hazm, Cetakan I, Tahun 1423 H – 2002 M.)

Atau dengan pengertian lain, seperti diungkapkan oleh Imam ath-Thabari: Kami tidak mengurangi ganjaran kebaikan mereka sedikit pun dengan mengambilnya dari mereka (para orang tua) untuk kemudian Kami tambahkan bagi anak-anak mereka yang Kami tempatkan bersama mereka. Akan tetapi, Kami beri mereka pahala dengan penuh, dan (lantas) Kami susulkan anak-anak mereka ke tempat-tempat mereka (para orang tua) atas kemurahan Kami bagi mereka.
(Kutub wa Rasâ`il, Min Kunûzil Qur`anil Kariim, ‘Abdul-Muhsin al-Abbâd al-Badr)

 Demikianlah, kemurahan dan keutamaan yang diraih anak-anak melalui keberkahan amalan para orang tua. Adapun keutamaan dan kemurahan yang dilimpahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para orang tua melalui doa anak-anaknya, tertuang pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِيْ الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُ : يَا رَبِّ أَنىَّ لِيْ هَذِهِ ؟ فَيَقُوْلُ : بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

“Sungguh, Allah benar-benar mengangkat derajat seorang hamba-Nya yang shalih di surga,” maka ia pun bertanya: “Wahai Rabbku, bagaimana ini bisa terjadi?” Allah menjawab: “Berkat istighfar anakmu bagi dirimu”.
(Tafsîrul-Qur`ânil-’Azhîm, al-Hafizh Abul-Fida Isma’îl bin ‘Umar bin Katsîr al-Qurasyi, Dârul Hadîts Kairo 1426H-2005M)

 Hadits ini diperkuat oleh hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dalam Shahîh Muslim:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Ketika seorang manusia meninggal, maka putuslah amalannya darinya kecuali dari tiga hal, (yaitu) sedekah (amal) jariyah, atau ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shalih yang mendoakannya.
 
 Maka kembali lagi ke awal pembicaraan, bila kita menginginkan anak yang shaleh maka shaleh kan lah diri kita. Anak bagaikan kertas yang masih putih, tergantung siapa yang menggoreskan lukisan di atasnya. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menggambarkan hal itu dalam sabdanya,

“مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِه”

“Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang akan menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi”.  
HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.

Andaikan sejak kecil anak dibiasakan berperilaku baik, mulai dari taat beribadah hingga adab mulia dalam keseharian, insyaAllah hal itu akan sangat membekas dalam dirinya. Sebab mendidik di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu.

Mengukir di atas batu membutuhkan kesabaran dan keuletan, namun jika ukiran tersebut telah jadi niscaya ia akan awet dan tahan lama.



Mulailah sekarang ayo belajar !
jangan di tunda lagi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar