Jumat, 30 Mei 2014

Pojok Kota Penuh kenangan (gedong bioscoop di Soerabaja)

Sejarah perfileman

Indonesia mulai mengenal gambar idoep atau istilah sekarang film adalah sekitar tahu 1900 an. Hal ini terekam dari salah satu iklan yang beredar saat itu, yang isinya kurang lebih :
“De Nederlandsch Bioscope Maatschappij (Matschappij Gambar Idoep)
memberi taoe bahoewa lagi sedikit hari ija nanti kasi lihat tontonan amat
bagoes jaitoe gambar-gambar idoep dari banjak hal jang belon lama telah
kedjadian di Europa dan di Afrika Selatan.”

ini dapat dilihat dari sebuah Iklan dalam surat kabar Bintang Betawi terbitan 30 Nopember 1900. Beberapa hari kemudian dalam iklan Bintang Betawi 4 Desember tertera:
“Besok hari Rebo 5 December PERTOENDJOEKAN BESAR JANG
PERTAMA didalam satoe roemah di Tanah Abang, Kebondjae (Menage)
moelain poekoel TOEDJOE malem. HARGA TETAP klas Satoe f2 Klas
Doewa f1 Klas Tiga f0,50.”
      *)dari buku H. M. Johan Tjasmadi, Dari Gambar Idoep ke Sinepleks, (Jakarta: GPBSI, 1992), hlm 5.

Sementara itu Film cerita pertama Indonesia asli Indonesia adalah Loetoeng Kasaroeng, yang lahir pada 1926.  Sebuah film yang diproduksi N.V. Java Film Company yang didirikan L. Heuveldorp dari Batavia dan G. Krugers dari Bandung, dan filem ini terbilang sukses. Diputar selama satu minggu di Bandung, antara 31 Desember 1926 sampai 6 januari 1927, dan juga diputar di berbagai tempat selain Bandung.  
 L. Heuveldorp adalah seseorang yang sudah berpengalaman di Amerika khususnya dibidang penyutradaraan film. Sementara G. Krugers seorang Indo-Belanda yang berasal dari Bandung, peranakan Eropa, dan merupakan saudara dari “Raja Bioskop” di Bandung yaitu Buse.
Loetoeng Kasaroeng merupakan filem Indonesia pertama yang mengangkat cerita asli dari Indonesia, yang mana mengangkat cerita legenda dari Jawa Barat. Dan produksi filem Loetoeng Kasaroeng ini sepenuhnya dilakukan di Bandung karena N. V. Java Film Company telah memiliki peralatan yang lengkap termasuk laboratorium film. Selain itiu pembuatan film ini juga mendapat dukungan dan bantuan besar dari Bupati Bandung saat itu, Wiranatakusumah V, sehingga segalanya dapat berjalan lancar.  
Pada tahun 1929 an filem bicara atau filem bersuara telah mulai diperkenalkan, hal ini nampak pula dari iklan suratkabar saat itu yaitu  surat kabar Keng Po, yang terbit tanggal 3 Agustus 1929 yang isinya sebagai berikut:
"Eruropa aken goenaken itoe bahasa, sebab ¾ dari doenia ada menggoenaken atawa sedikitdja mengerti itoe bahasa. Ada timboel satoe pertanjaan apa film bitjara bisa dapet kemadjoean di sini seperti film pake teks? Ini sanget soekar didjawab. Dilihat dari pemandangan pessimistich, film begitoe aken tida begitoe disoeka, lantaran di Indonesia oemoemnja digoenaken bahasa Belanda, ampir sasoeatoe orang mengerti Belanda, sedeng bahas Inggris, orang Belanda sendiri sebagian besar tida begitoe mengerti."
*) dari buku Departemen penerangan RI, Laporan Data Perbioskopan Di Indonesia 1984, (Jakarta: Departemen Penerangan, 1984), hlm ix.

Dua tahun kemudia Indonesia baru menikmati filem bidjara pertama yaitu filem Fox Follies pertama kali diputar di Bioskop Lurox (Surabaya) pada tanggal 26 Desember 1929. Jadi mulai saat itu tak ada lagi musik pengiring yang bermain di pinggir layar, dan mulailah masuk lagu-lagu dan musik dari amerika.
*) didapat dari SM Ardan, Laporan Setengah Abad Festival Film Indonesia, (Jakarta: Panitia Festival Indonesia 2004, 2004), hlm 7.

Bioskop-bioskop pertama yang memiliki fasilitas pemutaran filem suara antara lain adalah “Royal Standard” dan “Rialto” (Bogor), “Flora” (Sukabumi), “Hollywood” (Cirebon), “Union” (Surabaya), “Vari”a dan “Concordia” (Bandung), “Riche” (Kediri), “Royal Standard” (Blitar),  “Sriwedari” (Solo), dan Komisi (sensoar) Film di Jakarta.  

Bioskop-bioskop yang ada di surabaya antara 1900-1939 antara lain adalah :
Capitol Theatre (jd Wijaya theatre), Kranggan Theatre (jd Garuda), Kranggan Park, Flora Theatre, Lion Cinema, Lurox Theatre, Mascot Bioscoop, Maxim Theatre (jd Indra theatre), Pie Oen Kie Theater, Princess Theater, Sampoerna Theater (jd kalisosok theatre), Sirene Park, Union Theater, Universal Theater.  
 gedung bioscoop metropolis daerah tugu pahlawan (1950-an)


maxim theatre di ujung utara jl BasRa. (aka INDRA theatre)

 gedung bioscoop REX di ujung KOMPOL M.Duryat akhirnya jadi RIA

capitol theatre yang berseberangan dengan ps blauran
 capitol theatre nampak dari dekat
 ketika sudah jadi wijaya theatre
semoga bermanfaat dan menambah wawasan 


*) tulisan ini bersumber sebagian besar dari skripsi yang disusun oleh ULWA HUMAIROK GANDES LUWES dari Universitas Sebelas Maret

Tidak ada komentar:

Posting Komentar